"Sudah makan, Mas?"
"Belum. Tadi cuma makan roti."
Percakapan di atas sering saya dengar atau bahkan saya lakukan sendiri. Seolah-olah kalo belum makan nasi berarti belum makan. Sekalipun telah kenyang makan roti, mi instan dsb.
Sewaktu kecil - entah karena kami hidup pas-pasan atau memang pola pikirnya yang demikian - saya selalu disuruh makan nasi yang banyak. Bahkan kadang setengah dipaksa oleh orang tua saya. Terkadang di atas piring itu nasinya penuh sedangkan lauknya hanya segelintir saja. Terlihat ada kesenjangan di piring itu.
Hal ini berkebalikan dengan kebiasaan di Barat. Sejauh yang saya dengar dan lihat di media (soalnya saya belum pernah ke luar negeri), di piring mereka potongan daging atau lauk akan lebih besar daripada nasi, jagung, kentang, atau roti. Hal ini bisa juga dikarenakan kondisi iklim di sana yang dingin.
Di tengah melonjaknya harga pangan dan ancaman krisis pangan - khususnya di Indonesia - perlu dibudayakan makanan pokok pengganti nasi. Ada beberapa bahan pokok yang tidak terlalu terpengaruh harga dunia, misalnya singkong dan ubi. Bahkan di Gunung Kidul ada yang membudidayakan tanaman umbi-umbian dari yang dikonsumsi sehari-hari hingga yang telah langka.
Di beberapa daerah di Indonesia ada juga penduduk yang makanan pokoknya bukan nasi. Tetapi, seiring meningkatnya taraf hidup ada kecenderungan mereka beralih pada nasi sebagai makanan pokok.
Saya cuma mengingatkan - termasuk pada diri sendiri - jika kita sudah menghabiskan semangkuk mi, dua potong roti atau dua potong ubi atau singkong, itu artinya kita sudah makan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar